Oleh: M Hilman Fikri
“… pembangunan yang utuh dan menyeluruh dari suatu Negara, kesejahteraan dunia dan perjuangan menjaga perdamaian menuntut partisipasi penuh kaum perempuan dalam kedudukan yang sejajar dengan laki-laki dalam segala bidang.”
(Konvensi PBB tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, tahun 1979)
Sebagai bagian dari masyarakat, kaum perempuan memiliki arti dan peran yang penting dalam turut serta membangun bangsa. Termasuk juga mengkritisi berbagai keadaan yang saat ini sedang terjadi.
Indonesia, pada tahun 1968 telah meratifikasi konvensi PBB tentang hak-hak politik perempuan (The UN Convention the Elimination of all Forms of Discrimination against Woman - CEDAW), bahwa dalam kehidupan Indonesia, laki-laki dan perempuan memiliki kesejajaran dan memiliki hak sama. Bahkan baru-baru ini diundangkan UU 12/2003 pasal 65 ayat 1 yang menyebutkan, “setiap parpol peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen”.
Dari semua hal di atas bisa kita lihat bahwa kini, perempuan memiliki celah dan peluang begitu besar untuk turut serta dalam menentukan arah bangsa ini. Termasuk peluang perempuan dalam kancah perpolitikan. Pertanyaannya apakah kaum perempuan kapabilitas dalam hal tersebut? Bisa ya, bisa tidak.
Pertama, bila kita cermati saat ini, partisipasi wanita dalam kancah perpolitikan tidak begitu tinggi atau dengan kata lain kita sebut masih rendah. Yang saya lihat secara pribadi adalah bukan karena kesempatan ataupun peluang bagi perempuan untuk masuk ke dalamnya (kancah politik; parlemen; partai) rendah melainkan karena perempuan itu sendiri yang dalam kodratnya lebih memilih untuk sibuk dalam mengurusi keluarga serta anak-anaknya yang kelak menjadi generasi penerus. Sehingga kaum perempuan tidak terlalu berorientasi pada kancah politik. Menurut Taqiyuddin An-Nabhani, setiap manusia memiliki tiga macam naluri, yaitu naluri mempertahankan diri, naluri mensucikan sesuatu, dan naluri untuk melestarikan keturunan. Agaknya memang kaum perempuan tidak bisa menghindarkan diri dari kodratnya sebagai makhluk paling halus sejagat dan lebih condong dalam memenuhi nalurinya sebagai manusia lembut yang lebih mengutamakan keluarganya.
Kedua, tampilnya sosok wanita menjadi pemimpin suatu partai, parlemen ataupun wilayah tertentu ternyata tidak menjamin keterwakilan kaum perempuan di dalamnya. Indonesia dan Banten contohnya. Apakah dengan hadirnya Megawati sebagai presiden mampu membuat suatu gebrakan tertentu yang begitu berarti bagi kaum perempuan? Saya rasa tidak, bahkan baru-baru ini Gubernur Banten Ratu Atut Chosyiyah diprotes oleh sejumlah aktivis perempuan karena dianggap belum mampu meningkatkan harkat dan martabat perempuan di daerah yang dipimpinnya.
Ketiga, kesetaraan antara laki-laki dan perempuan kadang diartikan keliru oleh kita semua. Aktualisasi diri yang dilakukan kaum perempuan tak jarang hanya menjadi ladang eksploitasi dan menjadi bumerang bagi perempuan yang dilakukan oleh beberapa pihak. Atau istilahnya perempuan tak lebih hanya menjadi barang dagangan. Dalam iklan suatu produk ataupun situs porno sekalipun, perempuan hanya menjadi objek. Menjadi tak lebih dari hiasan agar barang bisa cepat laku terjual. Begitu riskan dan begitu memprihatinkan.
Di beberapa negara, di Barat contohnya, atas dasar aktualisasi dan kesetaraan terjadi lost of generation (generasi yang hilang) sebab para wanita tidak mau menikah alih-alih hamil, karena hal itu dianggap bentuk kekerasan pada wanita. Sebuah contoh, demi mengejar kekayaan materi dan kebebasan mereka mengabaikan peran wanita sebagai ibu yang memiliki dampak signifikan bagi negara yang telah menerapkan konsep-konsep gender, melalui berbagai cara termasuk lewat undang-undang.
Denmark dan Norwegia memiliki partisipasi paling tinggi di dunia dalam hal perempuan bekerja. Di Norwegia pada tahun 1963 wanita pekerja hanya 14% yang punya bayi, pada tahun 1969 meningkat 69%. Pada tahun 1985 di Denmark hanya 5% anak-anak di bawah 6 tahun yang mendapat asuhan dari ibunya. Negara-negara di Skandinavia terkenal dengan tingkat ketidakstabilan atau perpecahan keluarga yang paling tinggi di dunia saat ini. Angka perceraian meningkat 100% dalam kurun waktu 20 tahun.
Keempat, politik dalam banyak arti ternyata tidak selalu harus berhubungan dengan parpol, parlemen ataupun kekuasaan. Politik dalam arti lainnya adalah mengurusi masyarakat. Oleh karena itu perempuan dalam berpolitik tidak harus masuk parpol ataupun masuk parlemen. Tapi bagaimana kemudian perempuan mampu lebih banyak berperan membangun masyarakat dan bangsa di ranah yang lain. Entah itu dari segi pembangunan intelektualitas ataupun keterampilan hidup. Tentunya dengan lebih mengutamakan keluarganya dibandingkan yang lain. Pendidikan dari keluarga, terlebih seorang ibu akan menjadi dasar dalam perkembangan anak yang kemudian selanjutnya menjadi generasi dan tumpuan hidup bangsa ini. Pendidikan yang baik dari sebuah keluarga bagi anaknya tentunya akan menghasilkan anak yang baik pula dan sebaliknya.
Terakhir, kesejajaran yang ada saat ini hendaknya juga turut serta didukung pemerintah dengan cara meminimalisir berbagai eksploitasi dan kejahatan terhadap wanita dengan cara meningkatkan dan memperbaiki tata pendidikan serta sistem hukum yang ada. Sehingga wanita bisa berperan optimal dan suatu saat mampu mencetak generasi-generasi tangguh dalam membangun Indonesia kedepan. Saya rasa harapan Kartini pun seperti itu, menginginkan Indonesia menjadi lebih baik. (*)
Mahasiswa Administrasi Negara FISIP UNTIRTA